Kopi dan Inspirasi

Ada dua orang sahabat, Agus dan Budi. Mereka berdua hidup di pinggiran kota dan tinggal di dua kampung yang bertetangga.

Agus adalah sosok pecinta alam dan penikmat musik, pemain gitar yang handal seantero kampung seberang. Agus suka mengantuk, bergaya hidup Bohemian dan sedikit kekinian.

Budi, anak Pak Kades yang lahir terlanjur ngganteng, disukai banyak wanita dan juga pria. Budi juga menyukai musik, sok filosofis dan menganggap dirinya seniman kondang.

Malam minggu, mereka berdua bersuka ria dirumah Budi, seperti biasa, Agus datang membawa gitar dan tak lupa membeli 4 sachet kopi kesukaan di warung langganan.

Budi menunggu di teras rumah, menepuk-nepuk Cajon dan menghabiskan berbatang-batang rokok layaknya seniman sangar. Lalu Agus tiba-tiba datang, dan … JRENG … pertunjukkan dimulai.

Dimulai dengan menyeduh 2 sachet kopi kesukaan, menyeruput dan meminumnya.

Dua bocah itu menggila seiring tegukan kopi, menyanyi-nyanyi, riang gembira. Memainkan lagu-lagu puitis, dan tiba-tiba seperti kesurupan dan kesetanan, Agus sang gitaris mengikuti intuisi seninya, menanyakan pertanyaan-pertanyaan filosofis kepada Budi.

Dan ….
seketika malam itu berbeda, malam itu begitu sakral, begitu filosofis dan menginspirasi, obrolan malam itulah yang menginspirasi mereka berdua untuk membuat lagu hits yang melanglang buana dan laku keras di pantura !

DSC00401 (2)

Agus memulai dialog panjang yang cukup serius tersebut, “Akhir-akhir ini sepertinya orang-orang semakin ribut ya Bud, sensitif sekali dengan kabar-kabar yang berkaitan dengan agama” kata Agus.

Lalu Budi dengan santainya menjawab, “Ya masyarakat sudah banyak berubah”, kata Budi sambil menghisap rokok

Mendengar pernyataan tersebut, Agus berniat untuk mengarahkan percakapan mereka menjadi lebih serius, “Dikota metropolitan seperti itu kok orang-orang malah jadi fanatik ya?” kata Agus.

Lagi-lagi Budi dengan santainya menjawab, “Ya … justru di kota lah fanatisme muncul, iya kan?”

Agus terdiam, tampak mengerutkan dahinya, mencoba menelaah pernyataan dari Budi.

Budi kemudian meng-elaborasi pernyataannya tadi, “Saya sering mengunjungi desa-desa yang masih alami, ada banyak perbedaan disana, tapi masyarakatnya santai, sangat toleran”

Agus mencoba mengkritik, “Bukankah yang terjadi sebaliknya?, masyarakat desa berpendidikan rendah, sehingga sulit untuk memahami perbedaan?”

Budi kemudian berkata, “Saya tidak melihat tingkat pendidikan, justru di kalangan orang-orang desa kita melihat sikap yang lebih toleran, lebih nyantai dengan realitas dan agama”

Lagi-lagi Agus meminta penjelasan yang lebih mendalam dari semua pernyataan-pernyataan Budi, “Maksud kamu lebih nyantai?”, kata Agus

Budi mencoba memberikan jawaban yang lebih mendalam, “Iya lebih nyantai, saya melihat orang desa malah punya independensi diri, punya kepercayaan diri, tidak terlalu terpengaruh dengan agama-agama yang harus-begini harus-begitu, dibandingkan dengan yang kita lihat di kota-kota dimana iklim sains iklim modernitas sangat kental maka disitulah fanatisme akan berkembang subur”

Agus dengan penuh skeptis menanggapi terus segala perkataan dari Budi, “Iya bener juga tuh, saya penasaran kok ada ya orang fanatik, cuman memandang hidup dari satu sisi aja, itu gimana orang kok bisa gitu?”, kata Agus sambil meneguk kopi yang sudah hampir habis

Lalu Budi mengambil sebatang rokok dan memantiknya, menghisapnya kemudian dengan penuh kehatian-hatian ia berkata,“Ya karena mereka, orang yang fanatik-fanatik itu hanya hidup dalam level baik dan buruk, menang dan kalah. Mereka tidak menyadari bahwa realitas ini terdiri dari kekacauan, realitas campur aduk antara baik dan buruk”

Agus menelaah perkataan dari Budi, diletakkannya jari telunjuk di dagunya, “Maksud kamu realitas ini adalah semacam kondisi yang chaotic?”

Dengan sekejap Budi lagsung menjawab, “Ya, realitas senyata-nyatanya adalah kondisi yang kacau, tetapi kenapa manusia malah memisahkan yang baik dengan yang buruk?, bukankah sebuah kebaikan membutuhkan kejahatan agar sebuah kebaikan tersebut menjadi sesuatu yang baik?”

“Maksudmu kita menerima adanya keburukan dan kejahatan walaupun kita sebenarnya hanya menginginkan kebenaran dan kebaikan?”, tanya Agus penuh dengan rasa penasaran …

Budi terdiam sejenak, berpikir akan jawaban yang akan dilontarkannya, “Ya, walaupun kejahatan itu buruk namun toh kita harus hidup dengan itu”

Agus kemudian berkata, “Hmmm … ya tetapi kita perlu memilah mana yang baik dan buruk, kita perlu mengikuti yang baik agar peradaban atau katakanlah agar masyarakat menjadi baik”

Budi langsung menanggapi,“Ya, manusia memang memiliki kehendak akan kebenaran”

“Nah! Itu yang saya maksud! Hahaa” kata Agus dengan wajah cerianya, akhirnya mereka menemukan inti permasalahan dari percakapan yang ngalor-ngidul tersebut …

Budi kemudian melontarkan lagi pertanyaan yang masih menjadi uneg-unegnya berkaitan dengan inti permasalahan percakapan mereka di malam itu, “Tapi kenapa ya orang-orang maunya segala sesuatunya benar? Padahal kebenaran itu kan sesuatu yang subjektif? Ada apa ya dibalik kehendak akan kebenaran itu? Saya jadi curiga”, kata Budi

“Hmm betul … ya mungkin kita membicarakannya terlalu awal” Kata Agus dengan gayanya yang sok bijak.

Obrolan malam itulah yang membuat mereka berdua membuat lagu hits yang melanglang buana dan laku keras di pantura …

2 responses to “Kopi dan Inspirasi

Leave a comment